K
|
au masih menatapku
dengan cara yang sama. Menatap dengan sederhana namun penuh arti. Ada satu tantapan
yang berbeda, tatapan yang menyentuh ke dalaman hati, tantapan yang membedakan
dari semuanya. Yang tak pernah Ku sendiri temukan dalam tatapan yang lain
selainmu. Teduh menetramkan.
Namun
setelah tiga tahun lamanya. Saling bergenggaman antara terik dan hujan. Antara
lapang dan sempit. Ternyata runtuh jua pertahananmu. “Aku tau… kamu setia, aku
tau. Tapi kesetiaanmu telah kamu nodai dengan caramu sendiri. kesetiaanmu hanya
untuk dia, bukan aku.” Lirihku dalam hati menyaksikan gemuruh.
Tiga
tahun lamanya kita bersama. Sedangkan selama itu juga kau telah menggandeng tangan lain selain
tanganku. Hatiku runtuh, semua terasa pening bahkan tulang-belulangku runtuh.
Aku terlalu mudah terperdaya.
***
Malam
itu, hujan menari pelan-pelan. Dari jendela kaca, kulihat air beningnya menetes
perlahan. Kupandangi reruntuhan air hujan itu satu persatu. Sama saja, mereka
sepertinya ingin menyampaikan sesuatu, entah apa itu aku tak tau, mungkin
tentang kamu. aku segera berbalik ke arah cermin. Menatap diriku yang masih
merasa memilikimu seutuhnya. Ku raih kenanganmu yang masih tersisa berupa
selemabar sapu tangan yang masih tergeletak di meja berhias setangkai Mawar
yang layu. ”Masih sama. Senyum itu masih utuh, dan itu untukku, semata. Tapi itu
dulu tiga tahun yang hendak ku tinggalkan”
Beberapa
saat setelah hujan reda, petir menyambar di dalam dada. Mata lekas
berkaca-kaca. Menyaksikan kaget bercampur takjub.
Jediaaaaaar!!!
Petir benar-benar menyambar hatiku. Jelas-jelas menikam hatiku.
Aku
benar-benar yakin kamu tidak lupa. Ada orang lain yang menyelinap diam-diam
dihatimu dan kamu biarkan dia masuk sesukanya, hingga perlahan menggeser
posisiku dihatimu, begitu saja.
Seletah
semua gemuruh reda langit malam kembai cerah. Purnama sisa kemarin mulai muncul
namun agak layu. Cahayanya terpantul di sudut-sudut tangga yang masih
berlumuran dengan bercak air sisa hujan tadi. Jam sudah melewati malam
setengah.
Melihat langit-lapang
ternyata menyadarkanku, kalau aku
terlalu naif. Terlalu merasa bahwa aku yang paling tersakiti. Sendirian.
Padahal di luar sana masih banyak lagi yang lebih buruk, atau jugapun lebih
baik dariku. Bak bintang-gemintang yang berkedip tanpa aturan serta jauhnya
yang tak terkira.
Anjing menggonggong.
Memecah kesunyian malam yang redup.
“Ahh… ternyata
anjing menggonggong terlalu keras malam ini. Merusak hatiku yang sedang bergemul
dengan kata-kata dan lamunan. Mencari sertapun memikirkan kata hikmah yang
ampuh untuk membuatku bangkit. Bangkit setelah badai itu berlalu” selesai
***
0 komentar:
Posting Komentar