Download

Minggu, 13 Januari 2013

Cerpen : Untuk Hujan

K
au masih menatapku dengan cara yang sama. Menatap dengan sederhana namun penuh arti. Ada satu tantapan yang berbeda, tatapan yang menyentuh ke dalaman hati, tantapan yang membedakan dari semuanya. Yang tak pernah Ku sendiri temukan dalam tatapan yang lain selainmu. Teduh menetramkan.   


Namun setelah tiga tahun lamanya. Saling bergenggaman antara terik dan hujan. Antara lapang dan sempit. Ternyata runtuh jua pertahananmu. “Aku tau… kamu setia, aku tau. Tapi kesetiaanmu telah kamu nodai dengan caramu sendiri. kesetiaanmu hanya untuk dia, bukan aku.” Lirihku dalam hati menyaksikan gemuruh.

Tiga tahun lamanya kita bersama. Sedangkan selama itu  juga kau telah menggandeng tangan lain selain tanganku. Hatiku runtuh, semua terasa pening bahkan tulang-belulangku runtuh. Aku terlalu mudah terperdaya.
***

Malam itu, hujan menari pelan-pelan. Dari jendela kaca, kulihat air beningnya menetes perlahan. Kupandangi reruntuhan air hujan itu satu persatu. Sama saja, mereka sepertinya ingin menyampaikan sesuatu, entah apa itu aku tak tau, mungkin tentang kamu. aku segera berbalik ke arah cermin. Menatap diriku yang masih merasa memilikimu seutuhnya. Ku raih kenanganmu yang masih tersisa berupa selemabar sapu tangan yang masih tergeletak di meja berhias setangkai Mawar yang layu. ”Masih sama. Senyum itu masih utuh, dan itu untukku, semata. Tapi itu dulu tiga tahun yang hendak ku tinggalkan”

Beberapa saat setelah hujan reda, petir menyambar di dalam dada. Mata lekas berkaca-kaca. Menyaksikan kaget bercampur takjub.

Jediaaaaaar!!! Petir benar-benar menyambar hatiku. Jelas-jelas menikam hatiku.
Aku benar-benar yakin kamu tidak lupa. Ada orang lain yang menyelinap diam-diam dihatimu dan kamu biarkan dia masuk sesukanya, hingga perlahan menggeser posisiku dihatimu, begitu saja.

Seletah semua gemuruh reda langit malam kembai cerah. Purnama sisa kemarin mulai muncul namun agak layu. Cahayanya terpantul di sudut-sudut tangga yang masih berlumuran dengan bercak air sisa hujan tadi. Jam sudah melewati malam setengah.

Melihat langit-lapang ternyata menyadarkanku, kalau  aku terlalu naif. Terlalu merasa bahwa aku yang paling tersakiti. Sendirian. Padahal di luar sana masih banyak lagi yang lebih buruk, atau jugapun lebih baik dariku. Bak bintang-gemintang yang berkedip tanpa aturan serta jauhnya yang tak terkira.

Anjing menggonggong. Memecah kesunyian malam yang redup.
“Ahh… ternyata anjing menggonggong terlalu keras malam ini. Merusak hatiku yang sedang bergemul dengan kata-kata dan lamunan. Mencari sertapun memikirkan kata hikmah yang ampuh untuk membuatku bangkit. Bangkit setelah badai itu berlalu” selesai
***

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More