S
|
ebelas tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dilalui Ayah dengan
kesendiriaannya. Semenjak istrinya meninggal dunia akibat kangker yang diderita.
Dua puluh lima tahun hidup bersama dengan intensitas tinggi memadu kasih membuat Ayah
begitu dalamnya larut bersama kesedihan saat harus merelakan kepergian sang pendamping
hati. Walaupun begitu pedihnya derita kesakitan, Ayah tetap menegakan kepalanya
untuk menerima bahwa inilah kuasa dari Tuhan.
Miftah, nama anak
ke tiga ayah, salah satu yang mengikuti jejaknya menjadi seorang guru. setahun yang
lalu Miftah masuk sekolah tinggi keguruan di daerah Semarang. Meski jaraknya
lumayan jauh seminggu sekali Mif selalu menyempatkan pulang untuk mengunjungi
Ayah dan adiknya yang bernama Hasan yang masih duduk di sekolah menengah
pertama.
Sore itu hujan
turun tidak terlalu besar, hanya saja cukup membasahi genting-genting, halaman
dan kolam ikan dibelakang rumah yang sudah
tak terawat lagi. Sambil memegangi poto dalam bingkai, Ayah merenung di dekat jendela ruang tengah menghadap jendela yang
kacanya berair oleh percikan hujan. Ayah teringat saat Ibu masih hidup. Tak pernah
terpikirkah Ayah untuk mencari pengganti Ibu walau hanya sekedar pendamping di
masa senjanya. Atau apakah dengan cara itulah ayah menunjukan kesetiaanya pada Bunda?
Entahlah, meskipun Bunda telah tiada, ia tak bergeming untuk berpaling hati
dari cintanya pada Bunda. Dengan mengurus ke empat buah cintanya itu, Ayah menjadikan
itu semua agar lebih berarti dalam memberi pengertian lain tentang cinta.
***
“Yah…” Jeda beberapa
saat. “Ayah inget Bunda lagi yah?” Teguran lurus memecah irama khas milik hujan.
Ayah tidak menjawab teguran itu, meski menyadarkan kesunyiannya di dalam lamunan.
Ayah hanya tersenyum. Lalu mendekati putra bungsunya yang berdiri mematung, lalu
memutarkan tanganya kepundak, dan merangkul.
”Ayah selalu ingat Bundamu Nak!!!” Suranya
parau dengan tarikan nafas yang panjang. “Hujan Ini mengingat Ayah waktu ibumu
masih ada, saat turun hujan begini Ibumu selalu menuangkan teh Wonosobo
kesukaan Ayah, tanpa dipinta.” Lanjut ayah bercerita, “Biasanya tak lama setelah
itu kakak-kakakmu Kamal dan Saeful pulang dengan basah kuyup dan sangat kotor. Dengan
tangannya menjinjing beberapa ekor ikan yang didapat dari memancing di rawa.
Ingin sekali Ayah memerahi kakak-kakakmu karna Ibumu pasti sangat cape mencuci
baju yang kotor itu. Tetapi Bundamu selalu menahanku. “Sudahlah Yah namanya
juga anak-anak.” Dengan pancaranya yang santun Bunda menyuruh Kakak-kakak
membersihkan badan dan segera makan.”
Tak bisa disembunyikan
dari rautnya kenangan itu masih tersimpan
utuh, hingga tak akan pernah hilang
dalam benak. Setiap sudut rumah itu menyisakan kenangan yang terus-menerus
menggoreskan luka dan bahagia saat masa tuanya. Suatu masa dimana duduk diteras
rumah di temani secangkir teh adalah kebanggaan. Berternak unggas dibelakang rumah
sebagai sebuah kesenangan. Saat seperti itu
hanya tinggal menghitung waktu. Langit mendung berarak kearah selatan.
Cerah mulai membahama kembali di langit-langit, sorak sorai kodok
bertaluh-taluh menyuarakan nada kebahagiaan, meski berbada jauh dengan apa yang
Ayah rasakan. Sendiri menyepi menyambut saat bersama cinta.
Sebenarnya masa
pensiun Ayah sebagai guru negeri itu masih terbilang lama, tapi ia memutuskan
untuk pensiun lebih awal. Dana pengsiunya
yang didapatnya sebagian digunakan untuk biaya kuliah Mif dan sisanya untuk
modal warung kecil yang Ayah kelola sendiri. Keseharian Ayah sangatlah
sederhana seperti laki-laki tua pada umumnya, tampilannya yang bersahaja dan
murah senyum, dan itulah banyak orang tertipu melihat ayah, karena tak pernah
tergamabar dari rautn betapa bergemuruh
hatinya, meski telah bertahun-tahun peristiwa itu terkubur waktu.
Belakangan ini Ayah terliat rajin mengikuti taklim
di mesjid dekat rumahnya. Dengan begitu terlihat banyak perubahan secara
spiritual yang Ayah alami. Tentu ini semua menambah pengertian lain tentang apa
yang ia rasa. Terutama untuk memahami goresan itu.
Siang itu matahari
terik, Awan-awan yang biasa mneghalangi terik tiba-tiba enyah, langit lapang
diantara kemilau cahaya dan biru.
“Pak
Arif sudah sepuh ibadahnya makin rajin saja yah. Takzim saya melihat kesolehan bapak.”
Kata Pak Munir Merbot Mesjid At-Takwa,
tiba-tiba menyapa.
Oh Pak Munir. Bapak juga rajin sekali memberisahkan
Mesjid.”
“Hehe… Anu Pak. Ini sudah jadi pekerajaan saya
membersihkan rumah Tuhan.” Pak Munir melajutkan, “ Mumpung masih ada tenaga, Siapa
tau saja malaikat izrail sedang mangintai saya ini, haha..”
Ayah tidak membalas lagi, ia hanya tersenyum
dan segera mohon pamit bergegas. Kata
Malaikat sedang mengintai itu melekat dalam pikiran Ayah. Entahlah,
mungkin saja teringat usianya yang sudah senja. “Kapan yah giliranku.” Decis
dalam hati Ayah.
Bukankah kematian setiap manusia dan makhluk-Nya yang
lain telah ditentukan oleh Tuhan sendiri. Setiap manusia entah yang kuat, yang
berpangkat, yang berharta, yang cantk dan ganteng, yang miskin atau kaya, yang
merdeka atau budak, tua muda semuanya
pasti menemui kematian hanya saja
berbeda cara dan waktunya saja. Ayah sadar sekali bahwa dua puluh tahun
yang lalu selalu berbeda tidak mesti seperti itu. Kulitnya yang kencang mulai
keriput, rambut yang hitam kelimis berubah memutih, jalan yang tegak menjadi
membungkuk. Entah seberapa lama lagi gilirannya.
Kematian istrinya
menjadi pukulan telak yang menyadarkanya bahwa Ia pun akan menyusul isrtinya
kelak. Sungguh kesedihan yang mendalam bukan karena Ayah ditinggalkan istrinya
yang terkasih atau hidup sendiri
menanggung beban, tetapi Ayah takut
kalau nanti giliranya sementara Ayah benar-benar dalam kondisi tidak
siap, karena malaikan Izrail datang tak
terduga.
Malam pun datang.
Ayah baru saja pulang dari mesjid dekat rumah. Miftah baru saja datang dari
Semarang, sembari membawa dua pelastik keresek berwarna hitam. Duduk di beranda depan tempat biasa Ayah
bersantai. Hasan yang sedang sibuk mengerjakan tugas tak tau kalau
kakaknya datang.
Malam berlalu tak
terasa, melumat seluruh keramaian di kala siang. Setelah pembicara singkat dengan Ayah,
Mif pamit untuk masuk kamar. Mif tak langsung tertidur, betapapun juga obrolan
singkat itu tersimpan di dalam
pikiran Mif, tak pernah Ayah berbicara seserius itu tentang hal ini.
Apa yang terjadi dan yang di alami ayah. Mif mencoba menerka-nerka hal apa yang
sebenarnya telah alami ayah sampai sebegitunya.
Ya Ayah, apapun
yang terjadi aku tetap mencintai sodaraku. Mencintai mereka menunaikan
amanatmu.
***
Sudah sebulan lamanya, Seiful dan istrinya menempati rumah
ayah. Saiful mengajak istrinya untuk tinggal bersama ayah dan adiknya sembari
mengurusi ayah yang sudah sakit-sakitan dan akhirnya istrinya bersedia walaupun
pada awalnya enggan.
Pagi itu, Sar
istri Saiful menyiapkan sarapan. Suaminya, Ayah dan Hasan sarapan bersama pagi
itu. Setelah semuanya selesai, mereka mengerjakan kegiatanya masing masing.
Pagi Saiful marasa ada hal yang aneh yang dirasakan,seperti sebuah firasat. tetapi
Ia hanya diam saja serta tak mengubris, Beberapa kalipun Ia menepis ketakutan
muncul tiba-tiba, jangan-jangan ada kejadian buruk yang akan menimpnya. Akhirnya
dengan sepeda motornya saiful berangkat bekerja, walaupun dalam keraguan. Tapi
lagi- lagi pikiran dan suasana buruk itu di tepisnya.
Traang…. Gelas
pecah. Hati sari tiba-tiba bergemuruh, seperti ada sesuatu yang terjadi. Ia
beranjak mencari handphone untuk mengubungi suaminya. Sebelum menembil telepon
genggam, tiba-tiba teleponnya bordering mendahului.
Benar
saja sekitar pukul setengah sembilan pagi terdengar kabar Saiful meninggal
tertubruk truk dan tewas seketika ditempat saat hendak menuju tempat kerjanya.
Sari isrtinya menjerit hiteris lalu tak
sadarkan diri saat mendengar kabar itu.
Saat tubuh Saiful yang telah dikafani dan siap
untuk kebumikan, Ayah terdiam saja, mematung tanpa ekspresi, tanpa mengeluarkan
suara sepetah katapun juga tanpa tangis. Mungkin saja air matanya telah habis
tertumpah. Berdiri mematung menyaksikan tubuh gagah anaknya yang di kebumikan.
Tiada daya. Dalam hati ayah berdecis, “betapa lemahnya Ayahmu ini dalam memahami kesedihan dan arti kehilangan. Pada
hal Anakku, sebentar lagi Ayah pun akan menyusulmu, menyusul Bunad kalian
semua.” Setelah di kebumikan, semua pelayat satu persatu pulang. Sementara
Ayah, Kamal, Miftah dan Hasan masih berada disana. Entah apa yang dipikirkan
oleh meraka, terdiam. Jika terpikirkan tentang kematian, bukankah semuanya juga
akan menyusul. Mengalami kematian.
“Ayah, mari kita
pulang.” Ajak kamal si sulung mengajak. “Biarkan Saiful lebih tenang istirahat,
kita jangan membuatnya sedih karena melihat orang-orang yang ia sayangi tak ikhlas
atas kepergiannya.” Mencoba untuk menebak pikiran Ayah.
Ayah hanya
diam sembari meremas-remas tanah kuburan
anaknya yang masih basah. Entahlah apa yang di pikirkannya. Tampak tebekan
meleset. Kamal anak sulung Ayah menyuruh
adiknya pulang terlebih dahulu, membiarkan dia dan ayah berdua, mungkin saja
ayah ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Mencoba menebak-nebek lagi.
Siang yang terik
mulai beranjak menyore dengan condongnya matahari kearah barat. Mereka berdua
hanya mematung. Kamal pun mati kutu untuk memecahkan keheningan, karena
beberapa kali mengajak ayahnya pulang dan berbicara sama sekali tak di gubris.
Kamal pun memutuskan untuk menunggu Ayah. Tiba-tiba Ayah memanggil kamal dengan
suaranya yang rapuh..
“Mal, Kamal….”
“Iya, Yah!!! Kamal
di sini yah.” Sembari beranjak mendekati Ayah.
Tak banyak
basa-basi, Ayah yang sedang jongkok menghadap kuburan anaknya, bercerita. Tebakan Kamal benar.
“Mal… dulu waktu
Ibumu pergi Ayah tidak merasakan sakit yang seperti ini walaupun Ayah sangat
mencintai Ibu. Bahkan Ayah sangat ikhlas melepas kepergian Ibumu, Mal. Tetapi
Kepergian Adikmu lain, padahal Aku tahu bahwa akan ada satu diantara anakku
yang akan meninggal mendahuluiku. Tapi kali ini Ayah tak siap.”
“Ayah tahu!!!
bagaimana mungkin Ayah bisa tahu kematian Saeful dan tidak memberi tahukan kami
terlebih dahulu.” Tanya kamal heran.
Kamal, dulu sewaktu ibumu masih ada, Ibumu
bercerita kepada Ayah. Bahwa suatu malam, Ibu bermimpi bahwa saeful akan
meninggal. Pada saat itu ibumu menangis tak henti-henti tiap malam dan selalu
menemai Saiful tiap tidur. Ibu sangat takut Saiful di ambil pemilik-Nya. Waktu itu
usia Saiful masih tiga tahun. Dan kamu baru masuk sekolah dasar. Ayah
melajutkan, “Ingatkan kamu, dulu Ibu selalu menggendong Saiful dan kamu Mal
ayah yang ngendongnya. Ibu gak mau melepaskan Saiful. Itulah kenapa Ibumu
sangat sayang sekali sama Saiful. Namun, setelah melahirkan Hasan adikmu
kondisi ibu makin memburuk, setahun setelah itu ibu meninggal dan Aku harus
bersusah-susah membesarkan kalian sendirian.
Seiring berjalanya waktu, Ayahpun lupa dengan
mimpi itu, karena awalnya ayah pikir itu hanya mimpi kosong saja. Ibu bilang mimpi
yang menakutkan hanya muncul tiga kali
tiap malm berturut-tutut dan tidak ada lagi sampai ibu meninggal. Namun kini mimpi itu benar terjadi, Adikmu Saiful
meninggal.
“Nak, maafkan tadi ayah diam saja, tak menggubris
ajakkanmu, Nak. Ayah hanya malu.”
Malu kenapa Yah??? Bertanya Kamal keheranan.
Suasana pemakaman hening seketika, hanya desir
angin meliuk diantara dedaunan yang terdengar. Nyanyian burung-burungpun
terdengar meski sayup-sayup, semerbak harum bunga kamboja membahama keseluruh penjuru
angin. Detak jam seakan berjalan begitu melambatnya.
Ayah bangkit dengan terikan nafas yang dalam. “Nak.
Saat Adikmu saiful di kebumikan. Ayah melihat ibumu berdiri disamping kalian, menyaksikan jasad
adikmu yang terbujur kaku dengan kafan dikebumikan. Ayah sungguh malu melihat ibumu dengan wajah bercahaya, ibumu sangat cantik dan anggun, mengenakan kerudung
dan gamis serba putih. Ibu tersenyum pada ayah, agar ayah tak menangis dan
merelakan Saiful pergi bersamanya. Ayah
semakin terdiam karna melihat Saiful terbang bersama ibumu ke langit. Dan saiful
pun tersenyum bahagia menatap ibunya.
Lalu setelah ayah menceritakan semuanya ayah pun menangis tersedu-sedu. Selesai
Ruang kerinduan, Pejaten: 3 Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar