Download

Jumat, 11 Januari 2013

Cerpen: Bunda hadir di antara kita nak…!!!



S
ebelas tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk dilalui Ayah dengan kesendiriaannya. Semenjak istrinya meninggal dunia akibat kangker yang diderita. Dua puluh lima tahun hidup bersama dengan  intensitas tinggi memadu kasih membuat Ayah begitu dalamnya larut bersama kesedihan saat harus merelakan kepergian sang pendamping hati. Walaupun begitu pedihnya derita kesakitan, Ayah tetap menegakan kepalanya untuk menerima bahwa inilah kuasa dari Tuhan. 


Bersama iringnan waktu, bersama canda tawa buah cintanya, Ayah lewati kesedihan dengan cara memandang dalam-dalam empat orang putranya. Seakan dalam setiap tatapanya, Ayah mengatakan “Nak, diantara hidup dan mati yang Tuhan gariskan pada hamba-hambanya terdapat kasih sayang yang takan tak tergambarkan. Sebagaimana Ibu mengasihimu dulu saat mengandung, melahirkan, serta membesarkamu antara susah dan bahagia, antara kepayahan dan cinta. Nak saling sayang menyayangilah, sebagaimana aliran darah cinta yang mengalir di tubuh-tubuh kalian. Maka ibumu akan hadir di jiwamu.”

Seminggu yang lalu Kamal putra sulung ayah izin pamit untuk berangakat serta tinggal di Surabaya karna baru saja mendapatkan panggilan kerja disana, setelah hampir satu tahun lamanya menunggu panggilan itu, setelah sebelumnya mendapatkan PHK dari tempat kerja yang dulu. Berbeda dengan Adiknya yang bernama Seiful, Ia  lebih senang untuk berwirausaha. Pekerjaanya sebagai pedagang pasar Iful awali dari ikut bantu-bantu pamanya yang jualan sayuran di pasar dan semenjak itulah ia tertarik dan menekuni usahanya. Setahun kemudiam Iful memiliki lapak sendiri. Tiga bulan yang lalu, Saiful mengakhiri masa bujangnya dengan menikahi wanita yang dipacarinya selama dua tahun belakangan ini. Awalnya Saiful tidak enak  hati untuk mendahului kakaknya yang terlihat masih santai saja untuk urusan pendamping, namun dengan pertimbangan dan kelapangan hati kakaknya yang mempersilahkan adiknya. Saiful dengan mantap memberanikan diri melamar Sari.

            Miftah, nama anak ke tiga ayah, salah satu yang mengikuti jejaknya menjadi seorang guru. setahun yang lalu Miftah masuk sekolah tinggi keguruan di daerah Semarang. Meski jaraknya lumayan jauh seminggu sekali Mif selalu menyempatkan pulang untuk mengunjungi Ayah dan adiknya yang bernama Hasan yang masih duduk di sekolah menengah pertama.

            Sore itu hujan turun tidak terlalu besar, hanya saja cukup membasahi genting-genting, halaman dan kolam  ikan dibelakang rumah yang sudah tak terawat lagi. Sambil memegangi poto dalam bingkai, Ayah merenung di dekat  jendela ruang tengah menghadap jendela yang kacanya berair oleh percikan hujan. Ayah teringat saat Ibu masih hidup. Tak pernah terpikirkah Ayah untuk mencari pengganti Ibu walau hanya sekedar pendamping di masa senjanya. Atau apakah dengan cara itulah ayah menunjukan kesetiaanya pada Bunda? Entahlah, meskipun Bunda telah tiada, ia tak bergeming untuk berpaling hati dari cintanya pada Bunda. Dengan mengurus ke empat buah cintanya itu, Ayah menjadikan itu semua agar lebih berarti dalam memberi pengertian lain tentang cinta.
***
            “Yah…” Jeda beberapa saat. “Ayah inget Bunda lagi yah?” Teguran lurus memecah irama khas milik hujan. Ayah tidak menjawab teguran itu, meski menyadarkan kesunyiannya di dalam lamunan. Ayah hanya tersenyum. Lalu mendekati putra bungsunya yang berdiri mematung, lalu memutarkan tanganya kepundak, dan merangkul. 

”Ayah selalu ingat Bundamu Nak!!!” Suranya parau dengan tarikan nafas yang panjang. “Hujan Ini mengingat Ayah waktu ibumu masih ada, saat turun hujan begini Ibumu selalu menuangkan teh Wonosobo kesukaan Ayah, tanpa dipinta.” Lanjut ayah bercerita, “Biasanya tak lama setelah itu kakak-kakakmu Kamal dan Saeful pulang dengan basah kuyup dan sangat kotor. Dengan tangannya menjinjing beberapa ekor ikan yang didapat dari memancing di rawa. Ingin sekali Ayah memerahi kakak-kakakmu karna Ibumu pasti sangat cape mencuci baju yang kotor itu. Tetapi Bundamu selalu menahanku. “Sudahlah Yah namanya juga anak-anak.” Dengan pancaranya yang santun Bunda menyuruh Kakak-kakak membersihkan badan dan segera makan.”

            Tak bisa disembunyikan dari rautnya kenangan itu  masih tersimpan  utuh, hingga tak akan pernah hilang dalam benak. Setiap sudut rumah itu menyisakan kenangan yang terus-menerus menggoreskan luka dan bahagia saat masa tuanya. Suatu masa dimana duduk diteras rumah di temani secangkir teh adalah kebanggaan. Berternak unggas dibelakang rumah sebagai sebuah kesenangan. Saat seperti itu  hanya tinggal menghitung waktu. Langit mendung berarak kearah selatan. Cerah mulai membahama kembali di langit-langit, sorak sorai kodok bertaluh-taluh menyuarakan nada kebahagiaan, meski berbada jauh dengan apa yang Ayah rasakan. Sendiri menyepi menyambut saat bersama cinta.

            Sebenarnya masa pensiun Ayah sebagai guru negeri itu masih terbilang lama, tapi ia memutuskan untuk pensiun lebih awal.  Dana pengsiunya yang didapatnya sebagian digunakan untuk biaya kuliah Mif dan sisanya untuk modal warung kecil yang Ayah kelola sendiri. Keseharian Ayah sangatlah sederhana seperti laki-laki tua pada umumnya, tampilannya yang bersahaja dan murah senyum, dan itulah banyak orang tertipu melihat ayah, karena tak pernah tergamabar dari rautn betapa  bergemuruh hatinya, meski telah bertahun-tahun peristiwa itu terkubur waktu. 

Belakangan ini Ayah terliat rajin mengikuti taklim di mesjid dekat rumahnya. Dengan begitu terlihat banyak perubahan secara spiritual yang Ayah alami. Tentu ini semua menambah pengertian lain tentang apa yang ia rasa. Terutama untuk memahami goresan itu.

            Siang itu matahari terik, Awan-awan yang biasa mneghalangi terik tiba-tiba enyah, langit lapang diantara kemilau cahaya dan biru.

 “Pak Arif sudah sepuh ibadahnya makin rajin saja yah.  Takzim saya melihat kesolehan bapak.” Kata  Pak Munir Merbot Mesjid At-Takwa, tiba-tiba menyapa.

Oh Pak Munir. Bapak juga rajin sekali memberisahkan Mesjid.” 

“Hehe… Anu Pak. Ini sudah jadi pekerajaan saya membersihkan rumah Tuhan.” Pak Munir melajutkan, “ Mumpung masih ada tenaga, Siapa tau  saja malaikat izrail  sedang mangintai saya ini, haha..”    
             Ayah tidak membalas lagi, ia hanya tersenyum dan segera mohon pamit bergegas. Kata  Malaikat sedang mengintai itu melekat dalam pikiran Ayah. Entahlah, mungkin saja teringat usianya yang sudah senja. “Kapan yah giliranku.” Decis dalam hati Ayah.

Bukankah  kematian setiap manusia dan makhluk-Nya yang lain telah ditentukan oleh Tuhan sendiri. Setiap manusia entah yang kuat, yang berpangkat, yang berharta, yang cantk dan ganteng, yang miskin atau kaya, yang merdeka atau budak,  tua muda semuanya pasti menemui kematian hanya saja  berbeda cara dan waktunya saja. Ayah sadar sekali bahwa dua puluh tahun yang lalu selalu berbeda tidak mesti seperti itu. Kulitnya yang kencang mulai keriput, rambut yang hitam kelimis berubah memutih, jalan yang tegak menjadi membungkuk. Entah seberapa lama lagi gilirannya. 

            Kematian istrinya menjadi pukulan telak yang menyadarkanya bahwa Ia pun akan menyusul isrtinya kelak. Sungguh kesedihan yang mendalam bukan karena Ayah ditinggalkan istrinya yang terkasih atau  hidup sendiri menanggung beban, tetapi Ayah takut  kalau nanti giliranya sementara Ayah benar-benar dalam kondisi tidak siap, karena malaikan Izrail datang  tak terduga.

            Malam pun datang. Ayah baru saja pulang dari mesjid dekat rumah. Miftah baru saja datang dari Semarang, sembari membawa dua pelastik keresek berwarna hitam.  Duduk di beranda depan tempat biasa Ayah bersantai. Hasan yang sedang sibuk mengerjakan tugas tak tau   kalau kakaknya datang. 

            Malam berlalu tak terasa, melumat seluruh keramaian di kala siang. Setelah pembicara  singkat  dengan  Ayah, Mif pamit untuk masuk kamar. Mif tak langsung tertidur, betapapun juga obrolan singkat itu  tersimpan di dalam pikiran  Mif, tak pernah  Ayah berbicara seserius itu tentang hal ini. Apa yang terjadi dan yang di alami ayah. Mif mencoba menerka-nerka hal apa yang sebenarnya telah alami ayah sampai sebegitunya.

            Ya Ayah, apapun yang terjadi aku tetap mencintai sodaraku. Mencintai mereka menunaikan amanatmu.
***
            Sudah sebulan  lamanya, Seiful dan istrinya menempati rumah ayah. Saiful mengajak istrinya untuk tinggal bersama ayah dan adiknya sembari mengurusi ayah yang sudah sakit-sakitan dan akhirnya istrinya bersedia walaupun pada awalnya enggan. 

            Pagi itu, Sar istri Saiful menyiapkan sarapan. Suaminya, Ayah dan Hasan sarapan bersama pagi itu. Setelah semuanya selesai, mereka mengerjakan kegiatanya masing masing. Pagi Saiful marasa ada hal yang aneh yang dirasakan,seperti sebuah firasat. tetapi Ia hanya diam saja serta tak mengubris, Beberapa kalipun Ia menepis ketakutan muncul tiba-tiba, jangan-jangan ada kejadian buruk yang akan menimpnya. Akhirnya dengan sepeda motornya saiful berangkat bekerja, walaupun dalam keraguan. Tapi lagi- lagi pikiran dan suasana buruk itu di tepisnya. 

            Traang…. Gelas pecah. Hati sari tiba-tiba bergemuruh, seperti ada sesuatu yang terjadi. Ia beranjak mencari handphone untuk mengubungi suaminya. Sebelum menembil telepon genggam, tiba-tiba teleponnya bordering mendahului.

 Benar saja sekitar pukul setengah sembilan pagi terdengar kabar Saiful meninggal tertubruk truk dan tewas seketika ditempat saat hendak menuju tempat kerjanya. Sari isrtinya menjerit hiteris  lalu tak sadarkan diri saat mendengar kabar itu. 

Saat tubuh Saiful yang telah dikafani dan siap untuk kebumikan, Ayah terdiam saja, mematung tanpa ekspresi, tanpa mengeluarkan suara sepetah katapun juga tanpa tangis. Mungkin saja air matanya telah habis tertumpah. Berdiri mematung menyaksikan tubuh gagah anaknya yang di kebumikan. Tiada daya. Dalam hati ayah berdecis, “betapa lemahnya Ayahmu ini  dalam memahami kesedihan dan arti kehilangan. Pada hal Anakku, sebentar lagi Ayah pun akan menyusulmu, menyusul Bunad kalian semua.” Setelah di kebumikan, semua pelayat satu persatu pulang. Sementara Ayah, Kamal, Miftah dan Hasan masih berada disana. Entah apa yang dipikirkan oleh meraka, terdiam. Jika terpikirkan tentang kematian, bukankah semuanya juga akan menyusul. Mengalami kematian.

            “Ayah, mari kita pulang.” Ajak kamal si sulung mengajak. “Biarkan Saiful lebih tenang istirahat, kita jangan membuatnya sedih karena melihat orang-orang yang ia sayangi tak ikhlas atas kepergiannya.” Mencoba untuk menebak pikiran Ayah.

            Ayah hanya diam  sembari meremas-remas tanah kuburan anaknya yang masih basah. Entahlah apa yang di pikirkannya. Tampak tebekan meleset.  Kamal anak sulung Ayah menyuruh adiknya pulang terlebih dahulu, membiarkan dia dan ayah berdua, mungkin saja ayah ingin mengatakan sesuatu kepadanya. Mencoba menebak-nebek lagi.

            Siang yang terik mulai beranjak menyore dengan condongnya matahari kearah barat. Mereka berdua hanya mematung. Kamal pun mati kutu untuk memecahkan keheningan, karena beberapa kali mengajak ayahnya pulang dan berbicara sama sekali tak di gubris. Kamal pun memutuskan untuk menunggu Ayah. Tiba-tiba Ayah memanggil kamal dengan suaranya yang rapuh..

            “Mal, Kamal….”

            “Iya, Yah!!! Kamal di sini yah.” Sembari beranjak mendekati Ayah.

           Tak banyak basa-basi, Ayah yang sedang jongkok menghadap kuburan  anaknya, bercerita. Tebakan Kamal benar.

            “Mal… dulu waktu Ibumu pergi Ayah tidak merasakan sakit yang seperti ini walaupun Ayah sangat mencintai Ibu. Bahkan Ayah sangat ikhlas melepas kepergian Ibumu, Mal. Tetapi Kepergian Adikmu lain, padahal Aku tahu bahwa akan ada satu diantara anakku yang akan meninggal mendahuluiku. Tapi kali ini Ayah tak siap.”

            “Ayah tahu!!! bagaimana mungkin Ayah bisa tahu kematian Saeful dan tidak memberi tahukan kami terlebih dahulu.” Tanya kamal heran.

Kamal, dulu sewaktu ibumu masih ada, Ibumu bercerita kepada Ayah. Bahwa suatu malam, Ibu bermimpi bahwa saeful akan meninggal. Pada saat itu ibumu menangis tak henti-henti tiap malam dan selalu menemai Saiful tiap tidur. Ibu sangat takut Saiful di ambil pemilik-Nya. Waktu itu usia Saiful masih tiga tahun. Dan kamu baru masuk sekolah dasar. Ayah melajutkan, “Ingatkan kamu, dulu Ibu selalu menggendong Saiful dan kamu Mal ayah yang ngendongnya. Ibu gak mau melepaskan Saiful. Itulah kenapa Ibumu sangat sayang sekali sama Saiful. Namun, setelah melahirkan Hasan adikmu kondisi ibu makin memburuk, setahun setelah itu ibu meninggal dan Aku harus bersusah-susah membesarkan kalian sendirian.

Seiring berjalanya waktu, Ayahpun lupa dengan mimpi itu, karena awalnya ayah pikir itu hanya mimpi kosong saja. Ibu bilang mimpi yang menakutkan  hanya muncul tiga kali tiap malm berturut-tutut dan tidak ada lagi sampai ibu meninggal.  Namun kini mimpi itu benar terjadi, Adikmu Saiful meninggal. 

“Nak, maafkan tadi ayah diam saja, tak menggubris ajakkanmu, Nak. Ayah hanya malu.”
Malu kenapa Yah??? Bertanya Kamal keheranan.

Suasana pemakaman hening seketika, hanya desir angin meliuk diantara dedaunan yang terdengar. Nyanyian burung-burungpun terdengar meski sayup-sayup, semerbak harum bunga kamboja membahama keseluruh penjuru angin. Detak jam seakan berjalan begitu melambatnya.  

Ayah bangkit dengan terikan nafas yang dalam. “Nak. Saat Adikmu saiful di kebumikan. Ayah melihat ibumu  berdiri disamping kalian, menyaksikan jasad adikmu yang terbujur kaku dengan kafan dikebumikan. Ayah sungguh malu melihat  ibumu dengan wajah bercahaya, ibumu  sangat cantik dan anggun, mengenakan kerudung dan gamis serba putih. Ibu tersenyum pada ayah, agar ayah tak menangis dan merelakan Saiful pergi  bersamanya. Ayah semakin terdiam karna melihat Saiful terbang bersama ibumu ke langit. Dan saiful pun tersenyum bahagia menatap ibunya.

Lalu setelah ayah menceritakan semuanya ayah  pun menangis tersedu-sedu. Selesai

Ruang kerinduan, Pejaten: 3 Desember 2012


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More