Betapa kelas penjaga adalah kelas istimewa, kerena kelas
penjaga tidak diikat selain kebaikan umum (summum bonum). -Plato
Setelah saya membaca artikel dari harian Kompas,
hari Rabu 27 maret 2013, yang berjudul ‘Etika Penjaga
Republik’ ditulis Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Politik
Universitas Indonesia. Saya merasa gusar dan merasa tidak tenang, apakah
negeri ini masih layak dihuni sebagai tempat yang memberikan
rasa aman. Pasalnya sebuah negara yang selayaknya menjaga keselamatan dan
keamanan warganya, kini mulai terancam dengan serenteTan tragedi dan tindak
kekerasan, anarkis yang dilakukan oleh aparat penjaga keamanan negara. Serangan
terhadap markas Porles Ogan Komering Ulu yang memakan banyak korban contohnya,
dan belum lagi kasus-kasus yang masih terbengkalai dan tidak jelas arah
penyelesaiannya.
Plato, seorang filosof besar dari Yunani menyebut kelas penjaga keamanan
(Polisi dan militer) dengan sebutan guardian. Kelas ini memiliki hak-hak
istimewa, selain menciptakan rasa aman dan tentram warga dari musuh-musuh
negara juga diberi lisensi menghilangkan nyawa musuh negera dalam keadaan
darurat atau perang. Meskipun dalam kondisi latihan perang tetapi acap kali
dilakukan untuk membuat musuh negara gentar yang akan menganggu kedaulatan.
Namun sayangnya hak istimewa ini, malah dinodai dengan sebuah tindakan yang
menyimpang dari konstitusional dengan melakukan kegiatan yang disebut dengan
pengadilan bawah tanah.
Sebagai penjaga keamanan, mestinya lebih menjunjung tinggi nilai kebaikan.
Hal ini tentunya didorong oleh sebuah keyakinan yang bermula dari akal yang
sehat, sehingga dengan keyakinan yang benar itu, ia akan memiliki ketangguhan
dan keberanian dalam melindungi sebagai tugasnya menjadi penjaga keamanan
negara. Jika demikian yang terbangun, niscaya segala keriasuan, kekhawatiran
lambat laun semakin berkurang dan warga akan hidup tentram jauh rasa takut apa
lagi tertelor.
Mengikis Pengadilan Bawah Tanah dengan Etika Penjagaan
Pada dasarnya, setiap komunitas, sebuah lembaga bahkan negara tentunya
membutuhkan penjagaan, sebagai sebuah fitrah manusia yang ingin merasa aman,
nyaman dan tentram. Namun jika yang memperoleh hak untuk menjaga justru yang
melakukan ulah dengan menghadirkan ketidaktentraman dan ketidaknyaman, ini
berarti ada suatu kesalahan atau penyimpangan dari landasan yang telah
ditanamkan. Dan untuk mengembalikan pada khitahnya, maka para pemegang
kebijakan harus dengan cepat merekonstruksi kembali landsan yang telah keluar
jalur itu. Sehingga kasus-kasus pengadilan bawah tanah atau penyalahgunaan
kekuatan militer segera dituntaskan, dan para penjaga kembali pada jalan
yang benar dengan melakukan penjagaan, yang sesuai dengan landasan yang telah
dibangunya.
Untuk itu, sebagai langkah dan solusinya adalah dengan menerapkan etika
yang termuat dalam konsep-konsep filsafat etika, yang tentunya akan
memberikan angin segar guna menyelaraskan perilaku. Maka sudahlah saatnya
pendidikan militer diberengi dengan penanaman filsafat moral yang tepat, bahwa
pendidikan militer bukanlah hanya sebagai upaya bela negara akan tetapi
patriotisme. Saya yakin sekali jika patriotisme yang dijunjung, militer sebagai
abdi negara yang melindungi rakyat dari segala ancaman dan menghadirkan
keamanan bagi warga negara akan terealisasi. Hanya saja, untuk menuju kearah
sana, membutuhkan banyak dukungan terutama bantuan dari para pejuang yang
bertugas mencerdaskan bangsa (guru), sebagai batu peletak patrotisme.
0 komentar:
Posting Komentar